Sunday, 25 November 2012



Pokok-Pokok Pemikiran Muhammad Iqbal
I.                   Pendahuluan
Filsafat Islam dan pemikiran tokoh-tokohnya yang telah berhasil mengukir sejarah dan melahirkan peradaban baru bagi umat Islam. Dalam kajian ini saya akan membahas tentang tokoh filsafat islam yang monumental diabad kedua puluh, seorang pemikir, pujangga, pembaharu Islam yang bukan saja berpengaruh di negerinya Pakistan tapi juga di Indonesia sendiri, yaitu Muhammad Iqbal.
Dr. Sir Muhammad Iqbal. Ia adalah setitik zarah di lautan semesta yang jiwanya senantiasa dalam keadaan resah. Jutaan manusia pelbagai bangsa pernah turut menyaksikan keresahannya di dalam ribuan bait syair yang ia tulis.
Sosoknya memang fenomenal. Lebih dari siapa pun, Muhammad Iqbal telah merekonstruksi sebuah bangunan filsafat Islam yang dapat menjadi bekal individu-individu Muslim dalam mengantisipasi peradaban Barat yang materialistik ataupun tradisi Timur yang fatalistik. Jika diterapkan maka konsep-konsep filosofis Iqbal akan memiliki implikasi-implikasi kemanusiaan dan sosial yang luas.[1]
Dr. Mohammad Natsir didalam bukunya Kapita Selekta mengungkapkan bahwa Muhammad Iqbal telah membangkitkan semangat rakyat dengan memompa kepercayaan diri ('Izzatunnafs) sambil beliau menyitir sebuah sajaknya dengan tema Khudi (pribadi) sebagai berikut:[2]
Khudi ko kar buland itna keh har taqdir se pahley
Khuda bandey se khud puchhey bata teri raza kia hai.
"Binalah pribadimu demikian hebatnya sehingga sebelum Tuhan menentukan taqdirmu
Dia sendiri akan mengarahkan Tanya padamu: Apakah yang kau kehendaki yang sebenarnya".
II.                Rumusan Masalah
1.      Biografi Muhammad Iqbal ?
2.      Pemikiran Muhammad Iqbal ?
III.             Pembahasan
1.      Biografi Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal (Urdu: محمد اقبال), (lahir di Sialkot, Punjab, India, 9 November 1877 – meninggal di Lahore, 21 April 1938 pada umur 60 tahun), dikenal juga sebagai Allama Iqbal (Urdu: علامہ اقبال), adalah seorang penyair, politisi, dan filsuf besar abad ke-20.
Muhammad Iqbal menyelesaikan sekolah dasarnya di Sialkot. Bakatnya sebagai seorang penyair dimulai di sini, dan mulai dirasakan gurunya, Syed Mir Hasan. Iqbal pun lulus Scotch Mission School pada 1892 dan melanjutkan ke jurusan Liberal Arts di Scotch Mission College (Murray College) dan lulus ujian pada 1895. Setelah itu, ia melanjutkan ke Governtment College, Lahore dan mendapatkan gelaran Bachelor of Arts tahun 1897 untuk jurusan Filsafat, Bahasa Arab, dan Sastera Inggris, dan gelaran Master of Arts pada 1899. Ia turut menerima pingat emas karena menjadi satu-satunya calon yang sukses di bidang filsafat. Setelah itu, Ia mendalami bahasa Arab di Oriental College, Lahore, sebelum menjadi penolong profesor mata pelajaran Filsafat dan Sastera Inggris di Government College, Lahore, pada 1903. Saat mendapatkan gelaran Master inilah, Muhammad Iqbal bertemu dengan Sir Thomas Arnold, seorang cendekiawan yang pakar filsafat moden, yang kemudian menjadi jambatan ke peradaban Barat, dan mempengaruhinya untuk melanjutkan pendidikan di Eropa.[3]
Dengan dorongan dan dukungan dari Arnold, Iqbal menjadi terkenal sebagai salah satu pengajar yang berbakat dan penyair di Lahore. Sajak-sajaknya banyak diminati orang. Pada tahun 1905, ia belajar di Cambridge pada R.A. Nicholson, seorang spesialis dalam sufisme, dan seorang Neo-Hegelian, yaitu Jhon M.E.McTaggart. Iqbal kemudian belajar di Heidilberg dan Munich. Di Munich ia menyelesaikan doktornya pada tahun 1908 dengan disertasi, The Development of Metaphysics in Persia.(disertasi ini kemudian diterbitkan di London dalam bentuk buku, dan dihadiahkan Iqbal kepada gurunya, Sir Thomas Arnold). Setelah mendapatkan gelar doktor, ia kembali ke London untuk belajar di bidang keadvokatan sambil mengajar bahasa dan kesusastraan Arab di Universitas London. Selama di Eropa Iqbal tidak pernah bosan menemui para ilmuwan untuk mengadakan berbagai perbincangan tentang persoalan-persoalan keilmuan dan kefilsafatan. Ia juga memperbincangkan Islam dan peradabannya. Di samping itu Iqbal memberikan ceramah dan berbagai kesempatan tentang Islam. Isi ceramahnya tersebut dipublikasikan dalam berbagai penerbitan surat kabar. Ternyata setelah menyaksikan langsung dan mengkaji kebudayaan Barat, ia tidak terpesona oleh gemerlapan dan daya pikat kebudayaan tersebut. Iqbal tetap concern pada budaya dan kepercayaannya.
Ia dianggap sebagai salah satu tokoh paling penting dalam sastra Urdu, dengan karya sastra yang ditulis baik dalam bahasa Urdu maupun Persia. Iqbal dikagumi sebagai penyair klasik menonjol oleh sarjana-sarjana sastra dari Pakistan, India, maupun secara internasional. Meskipun Iqbal dikenal sebagai penyair yang menonjol, ia juga dianggap sebagai "pemikir filosofis Muslim di masa modern". Buku puisi pertamanya, Asrar-e-Khudi, juga buku puisi lainnya termasuk Rumuz-i-Bekhudi, Payam-i-Mashriq dan Zabur-i-Ajam;; dicetak dalam bahasa Persia pada 1915. Di antara karya-karyanya, Bang-i-Dara, Bal-i-Jibril, Zarb-i Kalim dan bagian dari Armughan-e-Hijaz merupakan karya Urdu-nya yang paling dikenal. Bersama puisi Urdu dan Persia-nya, berbagai kuliah dan surat dalam bahasa Urdu dan Bahasa Inggris-nya telah memberikan pengaruh yang sangat besar pada perselisihan budaya, sosial, religius dan politik selama bertahun-tahun. Pada 1922, ia diberi gelar bangsawan oleh Raja George V, dan memberinya titel "Sir".
Ketika mempelajari hukum dan filsafat di Inggris, Iqbal menjadi anggota "All India Muslim League" cabang London. Kemudian dalam salah satu ceramahnya yang paling terkenal, Iqbal mendorong pembentukan negara Muslim di Barat Daya India. Ceramah ini diutarakan pada ceramah kepresidenannya di Liga pada sesi Desember 1930. Saat itu ia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Quid-i-Azam Mohammad Ali Jinnah.
Iqbal dikenal sebagai Shair-e-Mushriq (Urdu: شاعر مشرق) yang berarti "Penyair dari Timur". Ia juga disebut sebagai Muffakir-e-Pakistan ("The Inceptor of Pakistan") dan Hakeem-ul-Ummat ("The Sage of the Ummah"). Di Iran dan Afganistan ia terkenal sebagai Iqbāl-e Lāhorī (اقبال لاهوری "Iqbal dari Lahore"), dan sangat dihargai atas karya-karya berbahasa Persia-nya. Pemerintah Pakistan menghargainya sebagai "penyair nasional", hingga hari ulang tahunnya (یوم ولادت محمد اقبال – Yōm-e Welādat-e Muḥammad Iqbāl) merupakan hari libur di Pakistan.[4]
2.      Pemikiran Muhammad Iqbal
Iqbal adalah filosof Muslim yang banyak dipengaruhi oleh banyak filosof Barat seperti Thomas Aquinas, Bergson, Nietzsche, Hegel dan masih banyak lagi yang lainnya. Nietzsche dan Bergson sangat mempengaruhi Iqbal khususnya konsepnya tentang hidup sebagai kehendak kreatif yang terus bergerak menuju realisasi. Manusia sebagai kehendak kreatif tidak bisa dibelenggu oleh hukum mekanis maupun takdir sebagai rencana Tuhan terhadap manusia yang ditetapkan sebelum penciptaan. Namun semangat relegius Iqbal menyelamatkannya dari sikap atheisme yang dianut Nitzsche sebagai konsekuensi kebebasan kreatif manusia. Iqbal masih mempertahankan Tuhan dan mengemukakan argumentasi yang bisa mendamaikan kemahakuasaan Tuhan dengan kebebasan manusia.
Iqbal juga menolak konsep Nitzsche maupun Bergson tentang kehendak sebagai sesuatu yang buta, khaotis, tanpa tujuan. Iqbal mengatakan bagaimanapun orang sadar bahwa dalam kehendaknya ia memiliki tujuan karena kalau tidak buat apa ia berkehendak, namun Iqbal menolak tujuan sebagai tujuan yang bukan ditetapkan oleh manusia sendiri melainkan oleh takdir atau hukum evolusionistik.[5]
a.       Pemikiran Muhammad Iqbal tentang Falsafah Agama
Pandangan Muhammad iqbal yang berkaitan dengan falsafah agama memiliki corak tersendiri yang berbeda dengan apa yang ditempuh oleh mutakallimin(ahli ilmu kalam) rasional maupun filosof muslim baik dilihat dari segi isu yang ditampilkan maupun analisisnya.
Ia  berbeda dengan mutakallimin klasik dalam upaya memberikan rasionalisasi agama agar dapat diterima oleh akal. Ia tidak lagi terbawa kepada pembicaraan mengenai Tuhan dalam kerangka klasik seperti masalah pembuktian keberadaan Tuhan dengan menggunakan hukum kausalitas, sifat Tuhan dalam konteks qodim dan azalinya, Tuhan dibandingkan dengan sesuatu yang bukan Tuhan. Ia juga tidak mengulangi apa yang ditempuh oleh para filosof muslim karena titik singgung pemikiran agamanya bukan lagi rasionalisasi hellenisme akan tetapi perkembangan pemikiran barat setelah mengalami proses pencerahan yang menghantarkan bangsa itu kepada kemajuan.
Karena itulah maka dalam upaya memberikan penjelasan agama yang dapat diterima oleh akal, maka ia menulis buku Reconstruction of Religious thought in islam. Pendekatan buku tersebut menyerupai Wach sebagai pengamat agama yang bersemangat fenomenologis, hanya saja Wach membicarakanya dalam kerangka perbandingan sedangkan Iqbal hanya membatasi diri pada islam. Keduanya sama-sama berangkat dari titik tolak bahwa pengalaman agama sebagai sesuatu yang riil dan bukan khayalan sebagaimana dituduhkan oleh kaum materialis. Dari sini Iqbal merekonstruksi pemikiran keagamaan dalam islam dalam bentuk dialog dengan falsafah sehingga dapat dilihat sebagai percikan pemikiranya dalam falsafah agama.[6]
Baginya pembuktian kebenaran pengalaman keagamaan hanya dengan subyek yang mengalami tidaklah cukup. Oleh karena itu, ia mengemukakan dua macam pembuktian yaitu pembuktian intelektual dan pembuktian pragmatis. Menurutnya pembuktian intelektual dipahami sebagai interpretasi kritis tanpa didahului oleh pra anggapan yang berasal dari manusia. Sedangkan pembuktian pragmatis adalah pembuktian yang didasarkan pada hasil yang dapat dilihat dari adanya pengalaman keagamaan manusia. Yang pertama biasanya dikaitkan dengan filosof sedang yang kedua dikaitkan dengan para Nabi.
b.      Pemikiran Muhammad Iqbal dalam Politik
Iqbal terjun ke politik tahun 1908. Dia diberi gelar kebangsawanan pada tahun 1922, terpilih sebagai anggota Dewan Legislatif pada tahun 1926, diangkat sebagai presiden Liga Muslim India pada tahun 1930. Dia memperingatkan Liga Muslim bahwa India tidak akan dapat mengatasi perbedaan-perbedaan yang timbul untuk menjadi bangsa tunggal yang utuh. Namun, dia menyerukan kerja sama antar kelompok-kelompok agama. “ Mungkin kita tidak ingin mengakui bahwa setiap kelompok mempunyai hak untuk membangun menurut tradisi budayanya sendiri.” Ide ini akhirnya dikenal sebagai “Rencana Pakistan”, meskipun Iqbal sendiri tidak pernah mendukung nasionalisme sempit dalam bentuk apapun. Pihak-pihak lain memanfaatkan idenya tersebut untuk membentuk negara muslim Pakistan, dan iqbal diakui secara umum sebagai “ Bapak” Pakistan Modern.[7]  Bagi Iqbal dunia Islam seluruhnya merupakan satu keluarga yang terdiri atas republik-republik, dan Pakistan yang akan dibentuk menurutnya adalah salat satu republik itu.[8]
Sebagai seorang negarawan yang matang tentu pandangan-pandangannya terhadap ancaman luar juga sangat tajam. Bagi Iqbal, budaya Barat adalah budaya imperialisme, materialisme, anti spiritual dan jauh dari norma insani. Karenanya ia sangat menentang pengaruh buruk budaya Barat. Dia yakin bahwa faktor terpenting bagi reformasi dalam diri manusia adalah jati dirinya. Dengan pemahaman seperti itu yang ia landasi diatas ajaran Islam maka ia berjuang menumbuhkan rasa percaya diri terhadap umat Islam dan identitas keislamannya. Umat Islam tidak boleh merasa rendah diri menghadapi budaya Barat. Dengan cara itu kaum muslimin dapat melepaskan diri dari belenggu imperialis.[9]
IV.             Simpulan
Muhammad Iqbal merupakan sosok pemikir multidisiplin. Di dalam dirinya berhimpun kualitas kaliber internasional sebagai seorang sastrawan, negarawan, pendidik, filosof dan mujtahid. Sebagai pemikir Muslim dalam arti yang sesungguhnya, Iqbal telah merintis upaya pemikiran ulang terhadap Islam demi kemajuan kaum muslimin. Dan berusaha untuk melepaskan kaum muslim dari imperialisme barat dan merekonstruksi pemikiran kaum muslim untuk mencapai kemajuan.
V.           

Daftar Pustaka
Adian, Donny Gahral, Muhammad Iqbal, Bandung: Teraju, 2003
Natsir, M., Kapita Selekta 2, Jakarta: PT Abadi dan Yayasan Kapita Selekta,  2008
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999
Jamil, Abdul,  Muhammad Iqbal dan Falsafah Agama Semarang: Gunungjati, 2002
Lee, Robert D., Mencari IalM Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun, Bandung: Mizan, 2000
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2003
Wikipedia.com



[1] Donny Gahral Adian, Muhammad Iqbal, Bandung: Teraju, 2003, hal. 23
[2] M. Natsir, Kapita Selekta 2, Jakarta: PT Abadi dan Yayasan Kapita Selekta,  2008, hal. 138-139
[3] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999, hal. 182
[4] Wikipedia.com
[5]  Donny Gahral Adian, op.cit., hal. 34
[6] Abdul Jamil,  Muhammad Iqbal dan Falsafah Agama Semarang: Gunungjati, 2002, , hal. 124
[7] Robert D. Lee, Mencari IalM Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun, Bandung: Mizan, 2000, hal. 70
[8] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2003, cet. XIV, hal 186

No comments:

Post a Comment