Pokok-Pokok
Pemikiran Muhammad Iqbal
I.
Pendahuluan
Filsafat Islam dan pemikiran
tokoh-tokohnya yang telah berhasil mengukir sejarah dan melahirkan peradaban
baru bagi umat Islam. Dalam kajian ini saya akan membahas tentang tokoh
filsafat islam yang monumental diabad kedua puluh, seorang
pemikir, pujangga, pembaharu Islam yang bukan saja berpengaruh di negerinya
Pakistan tapi juga di Indonesia sendiri, yaitu Muhammad Iqbal.
Dr.
Sir Muhammad Iqbal. Ia adalah setitik zarah di lautan semesta yang jiwanya
senantiasa dalam keadaan resah. Jutaan manusia pelbagai bangsa pernah turut
menyaksikan keresahannya di dalam ribuan bait syair yang ia tulis.
Sosoknya
memang fenomenal. Lebih dari siapa pun, Muhammad Iqbal telah merekonstruksi
sebuah bangunan filsafat Islam yang dapat menjadi bekal individu-individu
Muslim dalam mengantisipasi peradaban Barat yang materialistik ataupun tradisi
Timur yang fatalistik. Jika diterapkan maka konsep-konsep filosofis Iqbal akan
memiliki implikasi-implikasi kemanusiaan dan sosial yang luas.[1]
Dr. Mohammad Natsir didalam bukunya
Kapita Selekta mengungkapkan bahwa Muhammad Iqbal telah membangkitkan semangat
rakyat dengan memompa kepercayaan diri ('Izzatunnafs)
sambil beliau menyitir sebuah sajaknya dengan tema Khudi (pribadi) sebagai berikut:[2]
Khudi ko
kar buland itna keh har taqdir se pahley
Khuda
bandey se khud puchhey bata teri raza kia hai.
"Binalah
pribadimu demikian hebatnya sehingga sebelum Tuhan menentukan taqdirmu
Dia
sendiri akan mengarahkan Tanya padamu: Apakah yang kau kehendaki yang
sebenarnya".
II.
Rumusan Masalah
1.
Biografi Muhammad Iqbal ?
2.
Pemikiran Muhammad Iqbal ?
III.
Pembahasan
1.
Biografi Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal menyelesaikan sekolah
dasarnya di Sialkot. Bakatnya sebagai seorang penyair dimulai di sini, dan
mulai dirasakan gurunya, Syed Mir Hasan. Iqbal pun lulus Scotch Mission School
pada 1892 dan melanjutkan ke jurusan Liberal Arts di Scotch Mission College
(Murray College) dan lulus ujian pada 1895. Setelah itu, ia melanjutkan ke
Governtment College, Lahore dan mendapatkan gelaran Bachelor of Arts tahun 1897
untuk jurusan Filsafat, Bahasa Arab, dan Sastera Inggris, dan gelaran Master of
Arts pada 1899. Ia turut menerima pingat emas karena menjadi satu-satunya calon
yang sukses di bidang filsafat. Setelah itu, Ia mendalami bahasa Arab di
Oriental College, Lahore, sebelum menjadi penolong profesor mata pelajaran
Filsafat dan Sastera Inggris di Government College, Lahore, pada 1903. Saat
mendapatkan gelaran Master inilah, Muhammad Iqbal bertemu dengan Sir Thomas
Arnold, seorang cendekiawan yang pakar filsafat moden, yang kemudian menjadi
jambatan ke peradaban Barat, dan mempengaruhinya untuk melanjutkan pendidikan
di Eropa.[3]
Dengan dorongan dan dukungan dari
Arnold, Iqbal menjadi terkenal sebagai salah satu pengajar yang berbakat dan
penyair di Lahore. Sajak-sajaknya banyak diminati orang. Pada tahun 1905, ia
belajar di Cambridge pada R.A. Nicholson, seorang spesialis dalam sufisme, dan
seorang Neo-Hegelian, yaitu Jhon M.E.McTaggart. Iqbal kemudian belajar di
Heidilberg dan Munich. Di Munich ia menyelesaikan doktornya pada tahun 1908
dengan disertasi, The Development of Metaphysics in Persia.(disertasi
ini kemudian diterbitkan di London dalam bentuk buku, dan dihadiahkan Iqbal
kepada gurunya, Sir Thomas Arnold). Setelah mendapatkan gelar doktor, ia
kembali ke London untuk belajar di bidang keadvokatan sambil mengajar bahasa
dan kesusastraan Arab di Universitas London. Selama di Eropa Iqbal tidak pernah
bosan menemui para ilmuwan untuk mengadakan berbagai perbincangan tentang
persoalan-persoalan keilmuan dan kefilsafatan. Ia juga memperbincangkan Islam
dan peradabannya. Di samping itu Iqbal memberikan ceramah dan berbagai
kesempatan tentang Islam. Isi ceramahnya tersebut dipublikasikan dalam berbagai
penerbitan surat kabar. Ternyata setelah menyaksikan langsung dan mengkaji
kebudayaan Barat, ia tidak terpesona oleh gemerlapan dan daya pikat kebudayaan
tersebut. Iqbal tetap concern pada budaya dan kepercayaannya.
Ia dianggap sebagai salah satu tokoh
paling penting dalam sastra Urdu, dengan karya sastra yang ditulis baik dalam
bahasa Urdu maupun Persia.
Iqbal dikagumi sebagai penyair klasik menonjol oleh sarjana-sarjana sastra dari Pakistan, India, maupun secara internasional. Meskipun
Iqbal dikenal sebagai penyair yang menonjol, ia juga dianggap sebagai
"pemikir filosofis Muslim di masa modern". Buku puisi pertamanya, Asrar-e-Khudi, juga buku puisi lainnya termasuk Rumuz-i-Bekhudi, Payam-i-Mashriq dan Zabur-i-Ajam;; dicetak dalam bahasa Persia pada 1915. Di antara
karya-karyanya, Bang-i-Dara, Bal-i-Jibril, Zarb-i Kalim dan bagian dari Armughan-e-Hijaz merupakan karya Urdu-nya yang paling dikenal. Bersama puisi Urdu dan
Persia-nya, berbagai kuliah dan surat dalam bahasa Urdu dan Bahasa Inggris-nya
telah memberikan pengaruh yang sangat besar pada perselisihan budaya, sosial,
religius dan politik selama bertahun-tahun. Pada 1922, ia diberi gelar bangsawan
oleh Raja George V, dan memberinya titel
"Sir".
Ketika mempelajari hukum dan filsafat di Inggris,
Iqbal menjadi anggota "All India Muslim League" cabang London. Kemudian dalam salah satu ceramahnya
yang paling terkenal, Iqbal mendorong pembentukan negara Muslim di Barat Daya India. Ceramah ini diutarakan pada ceramah
kepresidenannya di Liga pada sesi Desember 1930. Saat itu ia memiliki hubungan
yang sangat dekat dengan Quid-i-Azam Mohammad
Ali Jinnah.
Iqbal dikenal sebagai Shair-e-Mushriq (Urdu: شاعر مشرق) yang berarti "Penyair
dari Timur". Ia juga disebut sebagai Muffakir-e-Pakistan ("The
Inceptor of Pakistan") dan Hakeem-ul-Ummat ("The Sage of the Ummah"). Di Iran dan Afganistan ia terkenal
sebagai Iqbāl-e
Lāhorī (اقبال لاهوری "Iqbal dari
Lahore"), dan sangat dihargai atas karya-karya berbahasa Persia-nya.
Pemerintah Pakistan menghargainya sebagai "penyair nasional", hingga
hari ulang tahunnya (یوم ولادت محمد اقبال –
Yōm-e Welādat-e
Muḥammad Iqbāl) merupakan hari libur di Pakistan.[4]
2.
Pemikiran Muhammad Iqbal
Iqbal
adalah filosof Muslim yang banyak dipengaruhi oleh banyak filosof Barat seperti
Thomas Aquinas, Bergson, Nietzsche, Hegel dan masih banyak lagi yang lainnya.
Nietzsche dan Bergson sangat mempengaruhi Iqbal khususnya konsepnya tentang
hidup sebagai kehendak kreatif yang terus bergerak menuju realisasi. Manusia
sebagai kehendak kreatif tidak bisa dibelenggu oleh hukum mekanis maupun takdir
sebagai rencana Tuhan terhadap manusia yang ditetapkan sebelum penciptaan.
Namun semangat relegius Iqbal menyelamatkannya dari sikap atheisme yang dianut
Nitzsche sebagai konsekuensi kebebasan kreatif manusia. Iqbal masih
mempertahankan Tuhan dan mengemukakan argumentasi yang bisa mendamaikan
kemahakuasaan Tuhan dengan kebebasan manusia.
Iqbal
juga menolak konsep Nitzsche maupun Bergson tentang kehendak sebagai sesuatu
yang buta, khaotis, tanpa tujuan. Iqbal mengatakan bagaimanapun orang sadar
bahwa dalam kehendaknya ia memiliki tujuan karena kalau tidak buat apa ia
berkehendak, namun Iqbal menolak tujuan sebagai tujuan yang bukan ditetapkan
oleh manusia sendiri melainkan oleh takdir atau hukum evolusionistik.[5]
a. Pemikiran
Muhammad Iqbal tentang Falsafah Agama
Pandangan Muhammad iqbal yang
berkaitan dengan falsafah agama memiliki corak tersendiri yang berbeda dengan
apa yang ditempuh oleh mutakallimin(ahli ilmu kalam) rasional maupun filosof
muslim baik dilihat dari segi isu yang ditampilkan maupun analisisnya.
Ia berbeda dengan mutakallimin klasik dalam
upaya memberikan rasionalisasi agama agar dapat diterima oleh akal. Ia tidak
lagi terbawa kepada pembicaraan mengenai Tuhan dalam kerangka klasik seperti
masalah pembuktian keberadaan Tuhan dengan menggunakan hukum kausalitas, sifat
Tuhan dalam konteks qodim dan azalinya, Tuhan dibandingkan dengan sesuatu yang
bukan Tuhan. Ia juga tidak mengulangi apa yang ditempuh oleh para filosof
muslim karena titik singgung pemikiran agamanya bukan lagi rasionalisasi
hellenisme akan tetapi perkembangan pemikiran barat setelah mengalami proses pencerahan
yang menghantarkan bangsa itu kepada kemajuan.
Karena itulah maka dalam upaya
memberikan penjelasan agama yang dapat diterima oleh akal, maka ia menulis buku
Reconstruction of Religious thought in islam. Pendekatan buku tersebut
menyerupai Wach sebagai pengamat agama yang bersemangat fenomenologis, hanya
saja Wach membicarakanya dalam kerangka perbandingan sedangkan Iqbal hanya
membatasi diri pada islam. Keduanya sama-sama berangkat dari titik tolak bahwa
pengalaman agama sebagai sesuatu yang riil dan bukan khayalan sebagaimana dituduhkan
oleh kaum materialis. Dari sini Iqbal merekonstruksi pemikiran keagamaan dalam
islam dalam bentuk dialog dengan falsafah sehingga dapat dilihat sebagai
percikan pemikiranya dalam falsafah agama.[6]
Baginya pembuktian
kebenaran pengalaman keagamaan hanya dengan subyek yang mengalami tidaklah
cukup. Oleh karena itu, ia mengemukakan dua macam pembuktian yaitu pembuktian
intelektual dan pembuktian pragmatis. Menurutnya pembuktian intelektual
dipahami sebagai interpretasi kritis tanpa didahului oleh pra anggapan yang
berasal dari manusia. Sedangkan pembuktian pragmatis adalah pembuktian yang
didasarkan pada hasil yang dapat dilihat dari adanya pengalaman keagamaan
manusia. Yang pertama biasanya dikaitkan dengan filosof sedang yang kedua
dikaitkan dengan para Nabi.
b.
Pemikiran
Muhammad Iqbal dalam Politik
Iqbal terjun ke politik tahun 1908. Dia diberi
gelar kebangsawanan pada tahun 1922, terpilih sebagai anggota Dewan Legislatif
pada tahun 1926, diangkat sebagai presiden Liga Muslim India pada tahun 1930. Dia
memperingatkan Liga Muslim bahwa India tidak akan dapat mengatasi
perbedaan-perbedaan yang timbul untuk menjadi bangsa tunggal yang utuh. Namun,
dia menyerukan kerja sama antar kelompok-kelompok agama. “ Mungkin kita tidak
ingin mengakui bahwa setiap kelompok mempunyai hak untuk membangun menurut
tradisi budayanya sendiri.” Ide ini akhirnya dikenal sebagai “Rencana
Pakistan”, meskipun Iqbal sendiri tidak pernah mendukung nasionalisme sempit
dalam bentuk apapun. Pihak-pihak lain memanfaatkan idenya tersebut untuk
membentuk negara muslim Pakistan, dan iqbal diakui secara umum sebagai “ Bapak”
Pakistan Modern.[7]
Bagi Iqbal dunia Islam seluruhnya merupakan satu
keluarga yang terdiri atas republik-republik, dan Pakistan yang akan dibentuk
menurutnya adalah salat satu republik itu.[8]
Sebagai seorang
negarawan yang matang tentu pandangan-pandangannya terhadap ancaman luar juga
sangat tajam. Bagi Iqbal, budaya Barat adalah budaya imperialisme,
materialisme, anti spiritual dan jauh dari norma insani. Karenanya ia sangat
menentang pengaruh buruk budaya Barat. Dia yakin bahwa faktor terpenting bagi
reformasi dalam diri manusia adalah jati dirinya. Dengan pemahaman seperti itu
yang ia landasi diatas ajaran Islam maka ia berjuang menumbuhkan rasa percaya
diri terhadap umat Islam dan identitas keislamannya. Umat Islam tidak boleh
merasa rendah diri menghadapi budaya Barat. Dengan cara itu kaum muslimin dapat
melepaskan diri dari belenggu imperialis.[9]
IV.
Simpulan
Muhammad Iqbal merupakan sosok pemikir multidisiplin. Di dalam dirinya
berhimpun kualitas kaliber internasional sebagai seorang sastrawan, negarawan,
pendidik, filosof dan mujtahid. Sebagai pemikir Muslim dalam arti yang
sesungguhnya, Iqbal telah merintis upaya pemikiran ulang terhadap Islam demi
kemajuan kaum muslimin. Dan berusaha untuk melepaskan kaum muslim dari
imperialisme barat dan merekonstruksi pemikiran kaum muslim untuk mencapai
kemajuan.
V.
Daftar Pustaka
Adian, Donny Gahral, Muhammad
Iqbal, Bandung: Teraju, 2003
Natsir, M., Kapita Selekta 2, Jakarta: PT Abadi
dan Yayasan Kapita Selekta, 2008
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999
Jamil, Abdul, Muhammad Iqbal dan Falsafah Agama
Semarang: Gunungjati, 2002
Lee, Robert D., Mencari IalM Autentik: Dari
Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun, Bandung: Mizan, 2000
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 2003
Wikipedia.com
[1] Donny
Gahral Adian, Muhammad Iqbal, Bandung: Teraju, 2003, hal. 23
[2] M.
Natsir, Kapita
Selekta 2, Jakarta: PT Abadi dan Yayasan Kapita Selekta, 2008, hal. 138-139
[3]
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999,
hal. 182
[4]
Wikipedia.com
[5] Donny Gahral Adian, op.cit., hal. 34
[6] Abdul
Jamil, Muhammad Iqbal dan Falsafah
Agama Semarang: Gunungjati, 2002, , hal. 124
[7] Robert
D. Lee, Mencari IalM Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis
Arkoun, Bandung: Mizan, 2000, hal. 70
[8] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 2003, cet. XIV, hal 186
No comments:
Post a Comment